close
Kalam

Islam dan Pesan-Pesan Keadilan

Di antara karakter khas Islam adalah mengatur setiap tata ruas kehidupan manusia, baik spiritual maupun material. Islam tidak membagi kehidupan menjadi dua bagian, dengan memandang suram kehidupan dunia atau menghargainya secara berlebih.

Islam adalah petunjuk dari langit bagi manusia dalam mengarungi kehidupan, dari sisi manusia sebagai hamba Allah (hablun minallah) hingga tata cara berkehidupan manusia sebagai khalifah Allah di muka buminya (hablun minannas).

Bahkan, sejak awal-awal kehadirannya, Islam telah secara tegas menyelisihi arus pemahaman masyarakat Arab yang menyimpang. Saat itu, mereka memandang rendah para wanita. Ada kegundahan dan rasa suram saat mengetahui dan memandang bayi perempuan yang lahir dari rahim mereka. Tak jarang, perempuan saat itu mengalami berbagai diskriminasi.

Mengabadikan potret di atas, Allah berfirman,

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ

“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58)

Islam datang dan mengisi hak-hak wanita dari kekosongan yang cukup lama. Martabat yang rendah pun kian terangkat seiring dengan perkembangan syariatnya. Islam melawan dekadensi perilaku sosial ini dengan berani. Islam meninggikan derajat wanita dan memuliakanya dengan memberi kepada mereka hak-hak yang seimbang dengan kewajibannya.

Sampai di titik, tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki di sisi Allah, semuanya punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan balasan di sisi Allah secara sempurna.

Allah berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Namun begitu, Islam memahami benar koridor dan batas-batas fitrah karena ada perbedaan alamiah antara laki-laki dan perempuan yang tidak mungkin dimungkiri dan dinafikan. Karena itu, Islam mengatur hak dan kewajiban keduanya secara proporsional.

Sebelum dan Sesudah Islam

Sebelum gemerlap Islam menerpa kegelapan jahiliah, masyarakat Quraisy masih saja berkutat dengan perilaku yang kelam. Praktik riba menjadi hal yang biasa bagi mereka.

Pengisapan darah sesama manusia pun lazim saja bagi kaum yang satu ini. Pemuka-pemuka Quraisy memberikan pinjaman kepada kalangan bawah dengan bunga atau tambahan yang tidak sedikit saat pengembalian dan pelunasannya. Bahkan, keterlambatan pelunasan sekalipun akan berujung pada denda-denda yang kerap memberatkan.

Kehadiran Islam, menata ulang interaksi yang seperti ini. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran: 130)

Di tengah kemerosotan akhlak, Islam hadir dengan konsep yang begitu revolusioner. Ajarannya datang sebagai sebuah keadilan yang hilang, pencerahan dari kebodohan, dan kasih sayang atas kebiadaban-kebiadaban yang mewabah saat itu.

Allah berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggat waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Syariat Islam dibangun atas kemaslahatan yang universal. Tidak ada perintah dan anjuran di dalamnya, kecuali ada kebaikan bagi manusia di sana. Begitu juga, tidaklah Islam melarang suatu hal, kecuali karena hendak memberi jarak antara manusia dan keburukan yang dikandungnya.

Pada akhirnya, Islam benarlah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam banyak mutiara karyanya,

إن الشريعة الإسلامية جاءت بتحصيل المصالح وتكميلها، وتعطيل المفاسد وتقليلها

“Sesungguhnya syariat Islam datang untuk memberikan kemaslahatan, atau menyempurnakannya. Dan menolak segala kerusakan atau menguranginya.”

Implementasi Islam yang betapa rahmatnya ini, dapat dengan jelas kita saksikan pada perilaku Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat beliau dilantik menjadi khalifah waktu itu, ada sebuah potret menakjubkan yang pantas ditulis dengan tinta emas dalam lembaran sejarah.

Setelah memuji Allah dan berselawat kepada baginda Nabi, beliau berkata, “Aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian ketika aku memimpin kalian, hanya saja ini sudah menjadi ketetapan dari Allah. Sesungguhnya orang-orang yang paling lemah di antara kalian adalah orang yang paling kuat di mataku. Adapun orang yang paling kuat di antara kalian adalah orang yang paling lemah di mataku”.

Kalimat di atas, menyiratkan pesan kepada kita bahwa penting sekali memenuhi hak-hak sesama manusia tanpa melihat siapa dan apa kedudukan sosialnya. Islam tidak mengenal supremasi ketidakadilan, bahkan jika keadilan itu menjadi haknya orang yang kita benci atau musuh sekalipun.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan.” (QS. An-Nisa: 135)

Dan firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)

Bagaimana produk dari pendidikan Islam ini, dapat kita saksikan dengan jelas pada lulusan-lulusan madrasah Rasulullah sendiri, yakni para sahabat. Mereka adalah orang-orang yang dididik langsung oleh Rasul dengan Al-Qur’an dan sunah. Pada akhirnya, dengan menyelami Islam secara benar, siapa pun akan menyadari dan membenarkan sebuah firman Allah, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh.” (QS. Al-Anbiya: 107)


Tulisan ini adalah diringkas dan disadur dari Khotbah Jumat Ustaz Harits Abu Naufal di Gedung Mahkamah Konstitusi

Penyadur: M. Haris Syahputra
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : dakwahislamkeadilanMahkamah Konstitusinasehatustaz

The author Redaksi Sahih