close
Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Kala itu sangat sedikit wanita bisa baca tulis dan dari deretan yang sedikit itu, kita akan menemukan nama ibunda Hafsah radhiallahu ‘anha disana. Karena keahliannya itu, ia terpilih untuk turut melestarikan tulisan asli Al-Qur’an yang terkumpul pada lembaran-lembaran pelepah kurma. Karena hal tersebut, di kemudian hari ia mendapat lakab Hirasah Al-Qur’an (Wanita Penjaga Al-Qur’an). Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang yang punya kapasitas keilmuan, bahkan ketika Umar radhiallahu ‘anhu di baiat sebagai khalifah, ia pun bertanya kepada Hafsah mengenai hukum agama.

Biografinya

Ia adalah anak sulung dari Amirul Mukminin Umar al-Faruq radhiallahu ‘anhu dengan istrinya, Zainab binti Mazh’un bin Hubaib bin Wahb. Ia lahir saat orang-orang Quraisy sedang membangun ulang Ka’bah. Mubarakfury menyebutkan ia lahir delapan belas tahun sebelum peristiwa hijrah dan wafat 45 tahun sesudah hijrah.

Ia besar dengan mewarisi sifat ayahnya dalam persoalan keberanian, ucapannya tegas, dan berkepribadian kuat, berbeda dengan wanita lain pada masanya.

Menikah Dengan Nabi

Sebelum menjadi istri nabi, Hafsah pernah bersuamikan Khunais bin Hudzafah al-Salami. Keduanya memeluk Islam bersama. Khunais kemudian wafat karena luka yang ia dapatkan saat Perang Badar al-Kubra dan istrinya menjadi janda, saat itu ia berusia 18 tahun.

Setalah itu, Umar iba dengan keadaan putrinya dan mencoba mencarikan seorang suami yang cocok untuk putrinya. Ia menanyakan Utsman dan Abu Bakar apakah mereka tertarik menikahi putrinya, namun Utsman yang sedang dalam kesedihan menjawab bahwa ia sedang tidak ingin menikah, sedangkan Abu Bakar hanya diam dan tak bergeming.

Menghadapi sikap mereka membuat Umar merasa sedih, kemudian ia mengadukan sikap kedua sahabatnya tersebut kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda “Hafsah akan menikah dengan seorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Adapun Utsman akan menikahi seseorang yang lebih baik daripada Hafsah.” Seketika pahamlah Umar jika Rasulullah akan menikahi putrinya.

Di Rumah Tangga Kenabian

Umar membekali putrinya dengan pesan agar selalu waspada dan jangan berulah yang bisa membuat nabi marah, juga jangan pernah berebut pengaruh dengan Aisyah, mengingat kedudukannya dan ayahnya di sisi Nabi. Pesan yang diingat betul oleh Hafsah, terlihat bagaimana ia senantiasa menyatukan langkah dengan Aisyah seperti dalam peristiwa maghafir.

Suatu waktu, pernah karena kesalahannya menceritakan sesuatu kepada Aisyah—sesuatu yang Nabi perintahkan agar dirahasiakan—Nabi marah besar. Bahkan sebagian riwayat menyebut jika Hafsah telah diceraikan, namun kemudian dirujuk kembali karena melihat Umar sangat susah atas kejadian tersebut, “Takkan lagi Allah memedulikan Umar dan putrinya setelah ini,” katanya dengan penuh cemas.

Sebagian Riwayat menyebut bahwa Jibril datang dengan maksud agar Nabi mempertahankan Hafsah, karena  Hafsah adalah istri Nabi di surga nanti. Setelah Nabi merujuk Hafsah, Umar pun kembali lega dan merasa tenang.

Setelah kejadian itu, Hafsah senantiasa menjaga citra dirinya sebagai istri Nabi, hingga ketika Nabi wafat, beliau rida padanya dan ayahnya.

Keutamaannya

Ibunda Hafsah adalah teladan sebagaimana ummahatul mukminin lainnya, ia memiliki banyak keutamaaan. Di antaranya, ia dipuji oleh Jibril sebagai seseorang yang selalu berpuasa di siang hari dan salat malam di malam hari. Selain itu, ia juga seorang wanita yang cerdas karena diajarkan langsung oleh Nabi, disamping sebelumnya ia telah mahir dalam baca tulis—hal yang jarang ada pada wanita kala itu. Hafsah juga sangat mencintai Nabi, ia selalu mencari rida Nabi dengan senantiasa menjalankan apa yang Nabi inginkan dan menjauhi apa yang Nabi benci.

Sepeningal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hafsah sering jadi tempat para sahabat bertanya persoalan agama, ia juga seorang yang rajin bersedekah kepada fakir miskin. Selain itu, ia juga diberikan keistimewaan sebagai penjaga Al-Qur’an.

Wafatnya

Ibunda Hafsah radhiallahu ‘anha meninggal dunia pada tahun 45 setelah hijrah, saat itu yang menjadi khalifah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu. Ia meninggal di Madinah, yang menjadi imam pada saat salat jenazahnya adalah Marwan bin al-Hakam, Gubernur Madinah kala itu, sedangkan yang menurunkan jenazahnya ke dalam kubur adalah dua orang saudaranya yaitu Abdullan dan Ashim, juga putra-putra Abdullah yaitu Salim, Abdullah, dan Hamzah.

Semoga Allah meridai ummul mukminin Hafsah radhiallahu ‘anha dan membalasnya dengan kebaikan.

Penulis: Misbahul
Editor: Arif Rinaldi

Tags : hafsahislammuslimahsejarahulama

The author Redaksi Sahih