close
Esai

Setelah Tragedi Kanjuruhan, Apalagi?

Sumber Foto: Viva News

Tagar prayforkanjuruhan menggema di berbagai jagad media sosial, ada banyak sekali ibu yang ‘patah sayapnya’ karena sang anak pulang tanpa nyawa, padahal mereka hanya izin pamit untuk menonton pertandingan sepak bola. Tak ada yang menyangka sebuah pertandingan dapat membuat ratusan orang meninggal dunia, karena memang tak ada pertandingan yang seharga dengan nyawa.

Namun, kejadian sabtu malam tersebut pun mungkin nanti hanya akan menghasilkan monumen peringatan, pertandingan-pertandingan akan kembali bergulir, sorak-sorak para suporter akan kembali terdengar. Akan tetapi, bagi kelurga yang ditinggalkan, luka tersebut akan selamanya terdedah dan mungkin tak akan pulih.

Lembaga Informasi Persaudaraan merilis jumlah korban meninggal dunia mencapai 219 orang, tetapi, akun twitter Arema Indonesia menyebut jumlah korban mencapai 182 orang. Berbeda dengan keduanya, pihak Kepolisian menyebutkan korban yang meninggal dunia jumlahnya hanya 125 orang.

Namun berapa pun itu, seluruh pihak yang terlibat harus berani bertanggung jawab, mulai dari kepolisian, TNI, PT. LIB, PSSI hingga panitia pelaksana, jangan saling cuci tangan dan lempar tanggung jawab.

Dan penting untuk ke depan agar para aparat yang mengamankan laga perlu dibekali lagi mengenai bagaimana mekanisme pengamanan di dalam stadion, sehingga mereka bisa mengambil keputusan dengan bijak dan terukur, tidak tersulut emosi sebagaimana para suporter.

Para suporter juga harus mengevaluasi diri, jangan hanya menuntut stadion, klub dan wasit saja yang harus berstandar, suporter juga perlu menjadi suporter dengan standar FIFA. Pasalnya, kasus yang melibatkan suporter bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, selama tiga dekade belakang tercatat begitu banyak terjadi kasus serupa yang mengakibatkan korban jiwa, baik karena kerusuhan di stadion ataupun di luar stadion.

Catatan Panjang Kasus Suporter Kita

Katanya, sepakbola adalah olahraga yang mempersatukan, tetapi kenapa justru perpecahan dan permusuhan yang kerap mengemuka? Bahkan sampai harus merenggut nyawa. Bertahun-tahun kerusuhan oleh suporter adalah bukti bahwa suporter sepak bola kita belum cukup dewasa, grasak-grusuk, ibarat kumpulan daun kering yang langsung terbakar jika disulut api.

Magelang, sepekan sebelum derbi Jatim [26 September 2022], dua orang panitia pelaksana harus dirawat di rumah sakit setelah sekelompok suporter membuat kerusuhan usai laga PPSM Magelang melawan Persitema Temanggung, pada pertandingan Liga 3. Kekalahan tuan rumah disinyalir merupakan alasan kericuhan tersebut.

Sebelum kericuhan di Magelang, tiga hari sebelumnya [23 September 2022] juga terjadi kericuhan serupa, kali ini di Riau. suporter PSPS Riau mengamuk di stadion, mereka menyalakan flare, merusak fasilitas sampai membakar bangku penonton.

Kekisruhan suporter juga terjadi di ujung Sumatera. Stadion H. Dimurthala dibakar oleh kelompok suporter karena laga lanjutan Liga 2 antara Persiraja Banda Aceh versus PSMS Medan batal digelar karena gangguan teknis.

Mundur lebih jauh ke bulan Juni, dua orang bobotoh harus meregang nyawa di Stadion GBLA kala Persib melawan Persebaya dalam gelaran Piala Presiden 2022, Polisi menyebutkan kedua korban meninggal karena terinjak dan berdesak-desakan.

Dan masih cukup banyak kasus lainnya lagi jika ingin dirunut. Bahkan nama Haringga dan Micko masih sangat familiar, seolah kejadiannya belum lama berlalu, mereka masing-masing pendukung Persija dan Persebaya yang meninggal karena pengeroyokan oleh suporter lawan beberapa tahun lalu.

PSSI harus sesegera mungkin mengambil tindakan tegas dan nyata yang dapat menimbulkan efek jera atas pelbagai pelanggaran yang terjadi. Menjeda kompetisi dalam waktu yang lama atau melarang hadirnya suporter ke stadion bisa jadi merupakan pilihan yang baik agar pelajaran dapat diambil. Sebab, sanksi yang sudah-sudah saja sangatlah tidak cukup bila dibandingkan dengan kepedihan akibat hilangnya banyak nyawa.

Kita tak ingin lagi mendengar peristiwa menyedihkan dari dunia sepak bola nasional yang selama ini lebih terlihat seperti medan perang yang menagih korban jiwa ketimbang olahraga yang menyenangkan dan mempersatukan.


Penulis:
Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran

The author Redaksi Sahih