close
Esai

Klaim Lemah Ramah Lingkungan di Balik Kampanye Antidaging

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Tak sedikit orang mengira bahwa produksi gas rumah kaca (GRK) dan peternakan kerap memiliki hubungan serius, termasuk para aktivis lingkungan. Dari sini, narasi antidaging pun mulai mencuat, di mana vegetarian diasumsikan menjadi pilihan gaya hidup ideal untuk keberlangsungan lingkungan yang lebih baik.

Asumsi itu seturut dengan analisis yang diterbitkan oleh organisasi Worldwatch Institute yang berbasis di Washington D.C. pada tahun 2009 silam. Mereka menyatakan bahwa 51 persen emisi GBK global bersumber dari pemeliharaan dan pengolahan ternak.

Namun, apakah makan daging dan sektor peternakan punya peran yang sedemikian mengerikan pada perubahan iklim seperti narasi yang berkembang belakangan? Atau, dampaknya malah sama sekali tidak siginifikan seperti yang dibayangkan sementara orang?

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, sumber-sumber terbesar emisi GRK Amerika pada tahun 2016 adalah produksi listrik (28% dari total emisi), transportasi (28%) dan industri (22%). Sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang hanya sebesar 9%. Dari sektor peternakan hewan secara keseluruhan hanya menyumbang kurang dari setengah jumlah ini, yaitu 3,9% dari total emisi gas rumah kaca AS. Angka tersebut sangat berbeda dari klaim yang mengatakan ternak memberikan sumbangan GRK lebih banyak dari sektor transportasi.

Lalu, apa yang melatari kesalahpahaman itu?

Frank M. Mitloehner, seorang Profesor Ilmu Hewan dan Spesialis Penyuluhan Kualitas Udara pada University of California menjawab polemik ini dalam tulisannya yang dimuat pada the conversation.

Bahwa pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi jika digabungkan.

Klaim terakhir ini keliru, dan telah dikoreksi oleh Henning Steinfeld, salah seorang penulis senior laporan tersebut. Masalah dari laporan tersebut ada pada metodologi analisis. Analis FAO menggunakan penilaian atas siklus hidup yang komprehensif untuk mempelajari dampak iklim dari ternak, tetapi menggunakan metode yang berbeda ketika mereka menganalisis moda transportasi.

Untuk ternak, mereka mempertimbangkan setiap faktor yang terkait dengan produksi daging. Ini termasuk emisi dari produksi pupuk, mengubah lahan dari hutan menjadi padang rumput, menanam pakan, dan emisi langsung dari hewan (bersendawa dan pupuk kandang) dari lahir hingga mati.

Namun, ketika mereka melihat jejak karbon transportasi, mereka mengabaikan dampak pada iklim proses pembuatan bahan baku dan bagian-bagian kendaraan, perakitan kendaraan dan pemeliharaan jalan, jembatan, dan bandara. Sebaliknya, mereka hanya mempertimbangkan emisi yang dikeluarkan oleh knalpot mobil, truk, kereta api, dan pesawat terbang. Akibatnya, perbandingan FAO tentang emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan dengan sektor transportasi menjadi sangat terdistorsi.

FAO kemudian segera mengakui kesalahannya. Sayangnya, klaim awal agensi tersebut bahwa ternak bertanggung jawab atas bagian terbesar dari emisi gas rumah kaca dunia telah menerima pemberitaan luas. Hingga hari ini, kami berjuang untuk merevisi pemberitaan tersebut.

Dalam laporan penilaian terbarunya, FAO memperkirakan bahwa ternak menghasilkan 14,5% dari emisi GRK global yang berasal dari kegiatan manusia. Tidak ada penilaian lengkap yang sebanding untuk sektor transportasi secara keseluruhan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan oleh Steinfeld, emisi langsung dari transportasi versus ternak bisa dibandingkan, dan hasilnya 14% dari emisi transportasi berbanding 5% dari peternakan.

Oleh karenanya, tidaklah cukup relevan dan bijaksana mengibarkan kampanye besar-besaran untuk berhenti mengonsumsi daging dengan alasan untuk menyelamatkan lingkungan. Apalagi, perkembangan teknologi dan manajemen dalam beberapa dasawarsa terakhir telah mengondisikan produksi ternak menjadi lebih efisien dan tentu saja menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca.

Menghapus peternakan dari sektor pertanian, atau berhenti makan daging dan beralih kepada plant based food memang mengurangi sedikit dari emisi gas rumah kaca. Akan tetapi, ia juga akan menjadi masalah baru lagi rumit dalam memenuhi kebutuhan gizi manusia. Belum lagi masalah-masalah yang timbul terkait lapangan kerja dan soal-soal lainnya.

 

Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran

Tags : daginggizilingkunganmanusiapertanianpeternakansains

The author Redaksi Sahih