close
Opini

H.M. Rasjidi, Modernis Jago Polemik yang Menentang Sekularisasi

Sumber Foto: Istimewa

Persentuhan Islam dan pemikiran Barat kerap menghadirkan berbagai persoalan. Kaum modernis amat menyadari masalah ini. Karena itu, mereka lazimnya menarik batas yang jelas antara Islam dan modernisme, bahwa modernisme Islam tak semakna dengan sekularisasi. Namun, banyak pula tokoh yang dianggap melalui batas itu. Dan sejarah pemikiran Islam di Indonesia mengenal satu nama yang amat ketat menjaga batas tersebut, H.M. Rasjidi. Ia pengkritik gagasan-gagasan sekuler di kalangan umat.

Nama aslinya Saridi, lahir di Kotagede, Yogyakarta, pada Kamis Pahing tanggal 20 Mei 1915, bertepatan dengan 4 Rajab 1333 H. Sebenarnya, keluarga Saridi ialah keluarga abangan yang masih suka menaruh kembang dan membakar kemenyan di pojok rumah setiap datang malam Jumat atau Selasa Kliwon. Ayahnya, Atmosudigdo, juga melanggan majalah Swara Oeomoem dan Kajawen.

Akan tetapi, karena pada masa kecil Saridi sekolah belum banyak berdiri, ia akhirnya belajar di Kweekschool Muhammadiyah, sekolah kaum modernis Islam. Di sekolah ini Saridi belajar ilmu umum sekaligus ilmu agama. Pada usia 14 Saridi pindah sekolah ke Lawang, Jawa Timur. Ia masuk Sekolah Al-Irsyad, sekolah milik organisasi modern lainnya, dan belajar langsung pada Syekh Ahmad Surkati, tokoh terpenting Al-Irsyad. Gurunya ini yang memberi nama baru Rasjidi.

Kecerdasan anak Kotagede ini sudah terlihat sejak di Lawang. Ia berhasil menguasai Alfiah karya Ibnu Malik dan Matan as-Sullam, buku tentang logika Aristoteles yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, di usia yang amat muda.

Selepas lulus dari Sekolah Al-Irsyad, petualangan intelektual Rasjidi semakin luas. Ia pergi ke Kairo, Mesir, bersekolah di Darul Ulum dan kemudian masuk jurusan Filsafat dan Agama di Universitas Kairo. Ia menyempatkan pula untuk naik haji dan melengkapkan namanya menjadi Haji Muhammad Rasjidi.

Terlibat dalam Pergolakan Kemerdekaan

Pada 1938 ia pulang ke tanah air dan terlibat dalam pergolakan kemerdekaan. Di kampungnya, ia kemudian menikah dengan Siti Sa’adah, bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII), dan Islam Studie Club. Ia juga sempat mengajar di Pesantren Luhur, Solo. Pada masa Jepang, Rasjidi pindah ke Jakarta, bekerja di Perpustakaan Islam dan juga menjadi pengurus di Sekolah Tinggi Islam.

H.M. Rasjidi ialah orang yang menerjemahkan naskah proklamasi ke dalam bahasa Arab dan kemudian membacakannya dalam siaran radio internasional. Dunia Arab mendengar kemerdekaan Indonesia dari suara dan terjemahannya.

Saat Kabinet Sjahrir dibentuk pada 14 November 1945, Rasjidi diangkat memimpin Kementerian Negara Urusan Agama dan dua bulan kemudian (3 Januari 1946) ia diangkat menjadi Menteri Agama yang pertama. Ia memimpin kementerian agama selama 7 bulan kurang 10 hari. Pada 2 Oktober 1926 Sjahrir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri kepada presiden dan Rasjidi selesai pula sebagai menteri. Demikian dikisahkan H. Soebagijo I.N. dalam artikel “Dari Saridi Ke Rasjidi” yang dimuat dalam 70 tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi (1985).

Baktinya kepada Republik kemudian ia tempuh dengan jalan lain. Pada 17 Maret 1947, bersama Haji Agus Salim, Nazir Dt. Pamuntjak, Abdul Kadir, dan Abdul Rachman Baswedan, Rasjidi berangkat ke Mesir. Rombongan ini menjadi tim diplomasi RI ke Timur Tengah. Mereka, atas nama Pemerintah RI, meminta dukungan dan pengakuan bagi kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, Arab Saudi, Mesir, Palestina, Irak, dan Yordania serta Liga Arab secara umum memberi dukungan penuh bagi kemerdekaan Indonesia.

Khusus untuk Arab Saudi, seperti dikisahkan M. Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (1980), Rasjidi datang seorang diri menemui Pangeran Faisal, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, dan kemudian Raja Saud, untuk meminta dukungan diplomatik. Selepas menjalani tugas diplomatik tersebut, Rasjidi kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Mesir, Iran, dan Afghanistan.

Setelah lama menggeluti karier sebagai diplomat, Rasjidi terpaggil kembali untuk melanjutkan petualangan intelektualnya. Pada 1954, atas sponsor Rockefeller Foundation, ia melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Sorbonne, Prancis. Ia lulus sidang doktoral pada 23 Maret 1956 dengan disertasi berjudul “l’Evolution del’Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Tjentini”. Setelah disertasinya berhasil dipertahankan, ia berhak menyandang gelar Docteur de l’Universite de Paris avec la mention Tres honorable atau Cum Laude, demikian catatan Soebagio I.N.

Sempat diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Republik Islam Pakistan oleh Anak Agung Gde Agung, Menteri Luar Negeri Kabinet Burhanuddin Harahap, Rasjidi kembali menempuh jalur intelektualnya. Ia memenuhi panggilan McGill University, Montreal, Kanada. Ia mengajar Hukum Islam dan Sejarah di Institute of Islamic Studies pimpinan Prof. Wilferd Cantwell Smith, orientalis kenamaan yang banyak mendidik intelektual Indonesia.

Polemik di Jalur Ilmiah

Bakat berpolemik Rasjidi mulai terasah di McGill. Tak tanggung-tanggung, lawan polemiknya ialah Prof. Joseph Franz Schacht, pakar Hukum Islam dari Universitas Columbia, New York, saat Schacht menyampaikan ceramah di McGill mengenai Hukum Islam. Professor keturunan Jerman tersebut menyatakan bahwa Nabi Muhammad hanya melakukan arbitrase selama di Madinah, bukan hukum sebagaimana dipahami dalam tradisi modern.

Rasjidi menyanggah sang profesor. W.C. Smith sampai harus menyelenggarakan “persidangan” tersendiri guna mendengar sanggahan Rasjidi tersebut. Orang Indonesia ini secara tabah menyanggah Schacht. Ia menyatakan profesor itu salah memahami kata hakama. Bagi Rasjidi, Nabi Muhammad tak sekadar menjadi penengah dari persengketaan masyarakat tradisional, tetapi benar-benar melaksanakan peradilan di dalam sebuah negara “modern”. Seorang profesor kenamaan dari Jepang, Toshihiko Izutsu, kemudian membela pandangan Rasjidi ini.

H.M. Rasjidi sempat menjadi Wakil Direktur Islamic Centre di Washington, AS sebelum kembali ke Indonesia pada 1967. Ia sempat menjadi perwakilan Rabithah Alam Islami untuk Indonesia. Prof. Dr. Subekti, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kemudian meminta Rasjidi untuk mengajar Hukum Islam di UI. Pada 20 April 1968 H.M. Rasjidi ditetapkan sebagai guru besar bidang Hukum Islam dan Lembaga-Lembaga Islam, dengan pidato pengukuhan berjudul “Islam di Indonesia di Zaman Modern”.

Gaya berpolemik Rasjidi, dalam konteks ilmiah tentu saja, mulai terlihat pada masa ini. Ia benar-benar menjaga batas pemikiran Islam (khususnya kaum modernis) yang terlanjur akrab bersentuhan dengan pemikiran Barat. Tercatat ia pernah berpolemik dengan A.M.W. Pranaka dan Daoed Joesoef (mengenai kebudayaan Indonesia); Prof. Dr. Mukti Ali (mengenai GBHN 1973); Franz Magnis Suseno SJ (mengenai RUU Peradilan Agama); R. Ng. Ronggowarsito (mengenai kebatinan); Harun Nasution (mengenai buku Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya); dan lain-lain.

Akan tetapi, ada satu polemik yang cukup panjang dan menarik perhatian. Polemik itu tak lain ialah sanggahannya kepada Nurcholish Madjid mengenai sekularisasi.

Islam Yes, Sekularisasi No

Polemik mengenai sekularisasi menarik karena boleh jadi adalah buah dari risiko yang diambil kaum modernis saat bersentuhan amat terbuka dengan pemikiran Barat. Majalah Tempo edisi 13 Januari 1973 mengangkat polemik ini dengan cukup terang. Nurcholish memulai polemik ini dengan makalahnya “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang ia sampaikan dalam diskusi HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58 pada 2 Januari 1970.

Salah satu pemicu polemik ialah pemaparan istilah “sekularisasi” yang ia bedakan dengan “sekularisme”. Bagi Nurcholish, sekularisasi ialah sebuah keterbukaan terhadap berbagai aspirasi sejarah, sementara sekularisme merupakan ideologi tertutup. Gagasan ini boleh jadi ia “tiru” dari Harvey Cox dalam buku The Secular City. Nurcholish hendak membedakan dimensi negara yang rasional-kolektif dengan dimensi agama yang spiritual-personal.

Rasjidi mengkritik habis gagasan tersebut. Ia melihat gagasan tersebut berpotensi melikuidasi peran Islam dalam bernegara. Setelah menguliti penggunaan istilah sekularisasi ala Nurcholish yang ia anggap terlalu arbiter, Menteri Agama pertama ini kemudian meneguhkan peran Islam dalam politik dan kehidupan umum kaum muslim. Tidak ada pemisahan urusan akhirat dan urusan duniawi, begitu menurut Rasjidi yang kritik-kritiknya itu, kemudian dibukukan dalam Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi (1972).

Polemik panjang berbalas tulisan ini berlangsung cukup lama. Bahkan, hingga kini isu sekularisasi kerap muncul, meski Nurcholish telah coba menutupnya dalam makalah “Sekularisasi Ditinjau Kembali” yang ditulis 15 tahun setelah makalahnya di Menteng Raya 58. Kata Nurcholish, “Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi”, dan “sekularisme” itu, maka adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.”

Dalam makalah berjudul “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, Nurcholish kemudian menjuluki Rasjidi sebagai, “[…] the guardian dunia pemikiran Islam di Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual itu.” Meski pernah berdebat panjang, Nurcholish tetap melihat Rasjidi sebagai orang tua yang telah melakukan peran intelektualnya dengan penuh tanggung jawab.

Haji Muhammad Rasjidi wafat di Jakarta pada 30 Januari 2001 dalam usia 85. Ia dikebumikan di tanah lahirnya, Kotagede, Yogyakarta. Ia telah meninggalkan berbagai karya ilmiah (terjemahan dan tulisan langsung) yang amat penting bagi pertumbuhan pemikiran Islam di Indonesia. Akan tetapi, warisannya yang terpenting ialah intelektualisme yang begitu bersahaja, berpolemik secara ilmiah dalam saluran-saluran resmi. Bukan polemik tak berujung yang melelahkan hari-hari.

Penulis: Shubhi Abdillah

Sumber: Tirto.id

Tags : kementerian agamapolemikRasjidiumat Islam

The author Redaksi Sahih

Leave a Response