close
Politik & Hukum

Kasus Salah Transfer, Penggunaan Pasal 85 UU Transfer Dana Harus Hati-hati

Foto: Freepik

Jika Anda memiliki rekening di salah satu bank, Anda wajib waspada, terutama jika saldo rekening Anda bertambah secara tiba-tiba tanpa mengetahui asal muasal transferan dana tersebut. Ketika dana tersebut digunakan secara gegabah tanpa melakukan pengecekan, bukan tak mungkin nasib Anda akan berakhir di balik jeruji besi.

Kasus salah transfer bukanlah hal baru dalam sengketa perbankan. Beberapa kasus bahkan berujung pidana, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Guna mencegah terjadinya sengketa, pemerintah menerbitkan UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.

Merujuk Pasal 1 ayat (1) UU Transfer Dana, transfer dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari pengirim asal yang bertujuan memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang disebutkan dalam perintah transfer dana sampai dengan diterimanya dana oleh penerima. Artinya, suatu transfer dana pasti diawali dengan suatu perintah kepada bank untuk memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang telah disebutkan dalam perintah transfer dana.

Dalam UU Transfer Dana, terdapat delik yang berkaitan dengan kegiatan salah transfer dana. Delik tersebut terdapat dalam Pasal 85 UU yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. Di samping itu, nasabah bisa dijerat dengan pasal 372 KUHP mengenai tindak pidana penggelapan jika nasabah sudah mengetahui asal uang tersebut dan menolak untuk mengembalikan.

Terkait dengan Pasal 85 UU Transfer Dana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (Untar) Ade Adhari mengatakan bahwa formulasi dalam pasal tersebut terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan yang wajib terpenuhi sebelum pemidanaan dilakukan. Pertama, kesalahan dalam bentuk kesengajaan yang mensyaratkan adanya dolus malus. Artinya, kesengajaan yang dilakukan dengan adanya niat jahat. Keberadaan kesalahan ini terlihat dengan adanya unsur sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui.

Kedua, bentuk kesalahan tersebut. Bentuk kesalahan kedua, yang dapat dijadikan sebagai syarat menjatuhkan pidana adalah pro parte dolus, pro parte culpa, yaitu delik yang dalam perumusannya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus. Dengan kata lain, sebagian untuk kesengajaan atau sebagian untuk kealpaan. Hal ini terlihat pada unsur sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya.

Ade juga menegaskan penggunaan Pasal 85 UU Transfer Dana harus dilakukan secara hati-hati. “Pasalnya, ada hal yang harus dipastikan berjalan terlebih dahulu, dengan kata lain ada kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh pihak bank sebagai penyelenggara transfer dana,” kata Ade dalam keterangan pers yang diterima Hukumonline, Jumat (5/11/2021).

Kewajiban tersebut tertuang di dalam Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UU Transfer Dana yang secara tegas menyatakan bahwa, “Dalam hal Penyelenggara Pengirim melakukan kekeliruan dalam pelaksanaan Transfer Dana, Penyelenggara Pengirim harus segera memperbaiki kekeliruan tersebut melakukan pembatalan atau perubahan.” Ketentuan pada ayat ini, lanjut Ade, menghendaki agar pihak bank “segera memperbaiki kekeliruan” atas salah  transfer tersebut. Umumnya, kata segera tersebut diartikan harus diperbaiki dalam batas waktu 2 x 24 jam. Aturan normatif pada ayat ini menghendaki agar pihak Bank sebagai penyelenggara transfer dana dalam menjalankan kegiatan transfer dana.

Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Penyelenggara Pengirim yang terlambat melakukan perbaikan atas kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada Penerima.”

Menurut Ade, norma dalam ayat ini penting untuk memberikan perlindungan bagi nasabah atas tindakan kekeliruan transfer dana yang dilakukan oleh pihak bank. Keberadaan kewajiban membayar jasa, bunga, atau kompensasi kepada nasabah menjadi penting agar bank sebagai penghimpun dana dari masyarakat senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyelenggaraan sistem transfer dana.

Di sisi lain, Ade yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Diponegoro Center for Criminal Law (DECRIM) menegaskan bahwa untuk dapat membuktikan adanya delik pada pasal 85 UU Transfer Dana dibutuhkan alat bukti yang ketentuan mengenai alat bukti dan pembuktiannya bersifat menyimpang dari KUHAP.

KUHAP telah menetapkan alat bukti yang dapat digunakan (bewijsmiddelen) untuk mengadili perkara pidana, termasuk perkara salah transfer dana. Berbagai alat bukti tersebut ada dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Namun, dalam Pasal 76 UU Transfer Dana terdapat perluasan jenis alat bukti dalam membuktikan adanya tindak pidana transfer dana berupa informasi elektronik, dokumen elektronik, dan/atau hasil cetaknya dalam kegiatan Transfer Dana. Selain itu, hal penting lain yang diatur dalam UU Transfer Dana adalah berkenaan dengan burden of proof atau bewijslast (pembagian beban pembuktian) yang menyimpang dari KUHAP.

Dalam hukum acara yang umum, lanjutnya, pembuktian kesalahan terdakwa menjadi tanggung jawab penuntut umum. Akan tetapi, dalam UU Transfer Dana beban pembuktian menjadi kewajiban bank yang diatur dalam Pasal 78 yang berbunyi, “Dalam hal terjadi keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana yang menimbulkan kerugian pada Pengirim Asal atau Penerima, Penyelenggara dan/atau pihak lain yang mengendalikan Sistem Transfer Dana dibebani kewajiban untuk membuktikan ada atau tidaknya keterlambatan atau kesalahan Transfer Dana tersebut.”

“Konsekuensi adanya ketentuan ini adalah jika bank tidak dapat membuktikan adanya kesalahan transfer maka pemidanaan terhadap terdakwa tidak dapat dilakukan. Aturan kewajiban pembuktian ditangan bank merupakan bentuk perlindungan hukum kepada nasabah karena penguasaan sistem penyelenggaraan transfer dana dikuasai oleh bank,” tegasnya.

Iktikad Baik Nasabah

Pemidanaan terhadap nasabah dalam kasus salah transfer menggunakan Pasal 85 UU Transfer Dana. Kebijakan formulasi dalam pasal tersebut menuntut adanya kesalahan dalam bentuk kesengajaan yang mensyaratkan adanya dolus malus. Artinya, kesengajaan yang dilakukan dengan adanya niat jahat.

Ade menyebut bahwa keberadaan kesalahan ini terlihat dengan adanya unsur sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui. Oleh karena itu, niat jahat dalam hal ini menjadi dasar patut dapat dipidananya nasabah penerima salah transfer. Ketiadaan niat jahat dalam kasus salah transfer terjadi muncul apabila nasabah memiliki iktikad baik, dan hukum memberikan perlindungan terhadap nasabah beritikad baik.

Iktikad baik ini dinyatakan ada ketika nasabah berhati-hati atau menduga-duga dengan menanyakan perihal dana yang masuk ke rekeningnya. Artinya, nasabah tersebut telah melakukan pengecekan atau pemeriksaan atas transfer dana yang masuk. Keberadaan itikad baik tersebut secara mutatis mutandis menandakan tidak ada niat jahat atau dolus malus dari nasabah untuk menguasai dan mengakui dana yang masuk ke dalam rekeningnya.

“Secara sederhana, adanya iktikad baik berkonsekuensi pada ketiadaan kesalahan sebagai syarat subjektif dalam kasus ini. Sehingga unsur delik dalam Pasal 85 sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang atau patut diketahui bukan haknya menjadi tidak terpenuhi,” tutupnya.

Sebelumnya, dikutip dari Klinik Hukumonline, “Haruskah Kembalikan Dana Hasil Salah Transfer?”, jika dilihat dari jalur perdata, menurut advokat Kevin Omar Sidharta dari kantor advokat Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), ketika terjadi salah transfer dana, bank dapat meminta nasabah mengembalikan uang tersebut atas dasar Pasal 1359 dan Pasal 1360 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Jika dilihat dari penjelasan di atas, secara hukum penerima wajib mengembalikan uang yang bukan milik penerima kepada bank yang melakukan salah transfer. Namun, sebelum mengembalikan uang tersebut, penerima harus melakukan cross-check kepada bank yang bersangkutan bahwa benar bank tersebut telah melakukan salah transfer dan juga mengenai jumlah uangnya.

Penerima juga berhak meminta bank membuat surat atau pemberitahuan resmi mengenai kesalahan transfer tersebut. Selain kewajiban dari bank, hal ini untuk menghindarkan terjadinya penipuan dari oknum-oknum tertentu dengan mengatasnamakan bank.

Di sisi lain, pihak bank wajib membuktikan adanya kekeliruan transfer tersebut kepada penerima, di antaranya dengan menunjukkan adanya perintah transfer dana dari Pengirim Asal dan Penerima yang seharusnya menerima dana tersebut (Pasal 78 UU 3/2011).

Perintah transfer dana tersebut dapat disampaikan secara tertulis atau elektronik (Pasal 7 ayat (1) UU 3/2011). Perintah transfer dana harus memuat sekurang-kurangnya informasi (Pasal 8 ayat (1) UU 3/2011), yakni identitas pengirim asal, identitas penerima, identitas penyelenggara penerima akhir, jumlah dana dan jenis mata uang yang ditransfer, tanggal perintah transfer dana, dan informasi lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan transfer dana wajib dicantumkan dalam perintah transfer dana.

 

Penulis: Fitri Novia Heriani

Editor: Teuku Zulman Sangga Buaa

 

Sumber: Hukumonline

Tags : hukumhukum positiftransferuangundang-undang

The author Redaksi Sahih

Leave a Response