close
OpiniRagam

Menguji Citra Ramah Lingkungan Kendaraan Listrik

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Kendaraan listrik digadang-gadang sebagai model kendaraan masa depan yang lebih ramah lingkungan. Akibatnya, banyak negara mulai serius mengembangkan transportasi listrik dan berkomitmen untuk benar-benar meninggalkan kendaraan berbahan bakar fosil secara berkala dalam beberapa tahun mendatang.

Beberapa negara tersebut adalah Norwegia, yang memastikan bahwa mulai tahun 2025, hanya mobil listrik yang akan dijual di pasaran. Sementara itu, pemerintah Islandia juga telah memutuskan untuk melarang penjualan mobil berbahan bakar fosil di negara itu mulai tahun 2030. Indonesia pun tak ketinggalan, pemerintah sudah berencana mengganti kendaraan dinas berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik dalam beberapa tahun mendatang.

Dengan segala dampaknya terhadap lingkungan, ketergantungan pada penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil memang perlu segera kita akhiri. Di mana penggunaan mobil listrik merupakan salah satu alternatifnya. Karena tidak ada zat yang dibakar, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi karbon ketika dikendarai, ia juga nyaris tak menimbulkan polusi udara.

Namun, meski dipersepsikan sebagai wahana transisi menuju transportasi hijau, kendaraan listrik hari ini masih diselimuti beberapa dilema. Permasalahan lingkungan, masih belum sepenuhnya teratasi dengan inovasi ini. Transisi tersebut seperti migrasi dari satu masalah ke masalah yang baru. Pasalnya, kendaraan listrik menggunakan baterai yang untuk memproduksinya membutuhkan energi yang tak sedikit.

Gas Rumah Kaca dan Kendaraan listrik

Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan dari sektor transportasi memang memiliki andil dalam peningkatan pemanasan global yang cukup pesat. Namun, upaya mengurangi emisi yang signifikan dari sektor transportasi dengan mengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) berbasis fosil ke Bahan Bakar Nabati (BBN) dan listrik agaknya masih belum menjumpai titik terang dalam upaya mengentas permasalahan emisi GRK tersebut.

Melansir dari Brin, di samping konsekuensi eksploitasi masif litium dan nikel, hal itu juga meningkatkan rasio paparan material Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terhadap vegetasi, hewan maupun manusia. Industrialisasi kendaraan listrik juga memiliki dampak negatif seperti konsumsi energi masif sepanjang proses produksi, jejak air (water footprint) yang luar biasa besar, serta kerusakan ekosistem yang tidak sedikit.

Material B3 tersebut dapat terakumulasi dan mengendap pada perairan (freshwater, marine), tanah (soil atau terrestrial), udara dan manusia. Sejumlah substansi seperti logam berat, arsenik, sodium dichromate dan hydrogen fluoride yang umumnya dihasilkan dari aktivitas pertambangan, pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil dan barang elektronik seperti baterai memiliki dampak yang sangat spesifik di dalam ekosistem.

Dalam prosesnya, pembuatan baterai dan kendaraan listrik melalui tahapan ekstraksi, pemurnian, dan manufaktur mengonsumsi energi dan air bersih yang luar biasa besar. Eksploitasi material-material ini dari alam juga menyebabkan kerusakan ekosistem serta terlepasnya substansi dan limbah tailing berbahaya ke lingkungan. Di sisi lain, masih banyak yang belum diketahui dari dampak jangka panjang daur ulang limbah baterai.

Sepanjang sumber energi untuk pengisian daya pada baterai mobil listrik masih menggunakan sumber listrik dengan pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, maka polusi udara sebenarnya masih akan terus berlangsung.

Mengutip Mongabay, penggunaan mobil listrik hanya sebatas mengurangi tingkat polusi udara di jalanan ketika mobil listrik itu dikendarai, tetapi sangat mungkin menyebabkan polusi udara dari sumber dan tempat yang berbeda.

Untuk mengatasi itu, dibutuhkan pula sumber listrik yang juga ramah terhadap lingkungan, misalnya yang bersumber dari panel surya, turbin bayu maupun nuklir. Artinya, pengembangan dan penggunaan mobil listrik harus pula dibarengi dengan penggunaan sumber-sumber energi bersih yang terbarukan.

Saat ini, mobil listrik juga masih mengandalkan pasokan energi dari daya yang tersimpan dalam baterai ukuran besar, yang notabenenya membutuhkan biaya lingkungan yang cukup tinggi dalam proses produksinya. Sebagai informasi, baterai yang digunakan mobil listrik terbuat dari elemen logam tanah langka (rare earth elements), seperti litium, nikel, kobalt atau grafit.

Untuk mendapatkan elemen logam tanah langka tersebut bagi keperluan pembuatan baterai mobil listrik ini dibutuhkan proses penambangan. Di mana aktivitas penambangan merupakan aktivitas yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan secara masif.

Dan juga, baterai mobil listrik memiliki batas usia pemakaian yang jika habis masanya harus diganti dengan yang baru. Masalahnya, baterai mobil listrik yang sudah tidak terpakai masuk ke dalam kategori sampah elektronik. Di mana penanganan sampah elektronik tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Harus ada prosedur khusus untuk menangani sampah elektronik. Penanganan secara sembarangan akan sangat membahayakan lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, perlu juga ada regulasi yang disiapkan supaya limbah baterai dari mobil listrik tidak menjadi masalah baru di kemudian hari.

Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally Taran

Tags : energi terbarukanlingkunganlistriktenaga listrik

The author Redaksi Sahih