close
Opini

Kita Akui Saja, Rokok Elektronik Sama Berbahayanya

Sumber Foto: Freepik

Sebagai seorang yang menghabiskan dua bungkus rokok per hari, saya percaya bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Alasannya sederhana, saya merasakan pelemahan fisik usai bertahun-tahun menghirup asap yang dihasilkan dari proses pembakaran tembakau. Tak kuat lari satu kilometer tanpa jeda, misalnya. Terlebih, mengelaborasi apa yang diucapkan manajer Liverpool FC Jürgen Klopp soal vaksin, bahwa “percayalah pada orang-orang yang paling tahu (kompeten di bidangnya),” para peneliti dan dokter telah lama sepakat bahwa rokok memang berbahaya.

Keyakinan yang berkebalikan dengan kebiasaan ini memang menggelikan nan memprihatinkan. Andai ditanya mengapa saya tetap merokok meskipun tahu berbahaya, meminjam apa yang diucapkan Griphook pada Harry Potter, saya akan menjawab, “It’s complicated.”

Tentu, seperti hampir semua perokok yang saya kenal, saya ingin terbebas dari rokok. Ada cukup banyak strategi yang disarankan pada saya, semisal menggunakan aplikasi pencatat [untuk mengendalikan] konsumsi rokok atau beralih menggunakan nikotin tempel/permen nikotin. Saran lain yang acapkali saya terima adalah mengganti rokok (dalam arti produk tembakau yang dibakar) dengan rokok elektrik.

Dikatakan bahwa produk tersebut lebih baik dari rokok konvensional dan dapat membebaskan seseorang dari rokok. Sayangnya, merujuk publikasi World Health Organization (WHO), bukti-bukti saintifik sebagai pijakan keyakinan tersebut “tidak meyakinkan” atau “inconclusive“.

Ketika pandangan WHO tersebut belum ada pembaruan, suatu hari pada awal November lalu aplikasi kesehatan Alodokter mengirim pesan berisi undangan mengikuti kompetisi menulis “Sehat Bersama Alodokter” bertema “pengurangan bahaya kesehatan akibat rokok konvensional dan peranan produk tembakau alternatif”. Alodokter menyebut bahwa tembakau alternatif adalah “produk yang tidak melalui proses pembakaran dan terbukti secara ilmiah memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok.” Dan produk tembakau alternatif itu, selain snus, koyok nikotin, serta permen karet nikotin, adalah vape.

Kompetisi ini didukung oleh Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), yang beranggotakan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia dan Perhimpunan Dokter Kedokteran Komunitas dan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PDK3MI). Mereka pernah menyatakan (melalui penelitian) pada 2018 bahwa “perokok elektrik memiliki risiko kesehatan dua kali lebih rendah dibandingkan perokok konvensional” karena ketiadaan (atau dosis kecil) tar di rokok elektrik.

Tema kompetisi menulis pada akhirnya memang terasa membingungkan. Alodokter sendiri tidak menjawab pertanyaan saya tentang itu, juga mengenai klaim vape [dan produk tembakau alternatif lain] yang dianggap “terbukti secara ilmiah memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok.”

Di tengah silang pendapat tentang vape ini, mana yang paling benar? Secara saintifik, tentu saja.

Penemuan Vape

James Monsees, mahasiswa S-2 desain produk di Stanford University, berdiri kebingungan pada suatu malam pada 2004 silam di samping salah satu gedung kampus. Ia bingung bukan karena memikirkan studi atau kehidupan sosialnya, tetapi karena tidak ada lagi kegiatan yang bisa dilakukan. Alih-alih pulang ke indekos untuk beristirahat, Monsees memilih membuang kebingungannya dengan merokok. “Sebat dulu,” kata orang Indonesia.

Kala Monsees merokok, tanpa perjanjian apa pun, adik kelasnya bernama Adam Bowen menghampiri untuk ikut merokok bersama.

Seperti hampir semua perokok di seluruh dunia, Monsees dan Bowen tahu bahwa merokok berbahaya dan ingin berhenti dari kebiasaan buruk ini. Sayangnya, berulang kali mencoba selalu berujung kegagalan.

Di tengah keasyikan menghirup asap tembakau, tiba-tiba muncul ide menciptakan produk yang dapat “mendamaikan” sifat buruk yang mereka miliki (perokok dan gagal berhenti merokok).

“Kita, kan, cukup pintar, ya? Kok kita [menghabiskan waktu dengan] ngerokok segala, sih?” kata Monsees kepada Bowen, sebagaimana dituturkan Jamie Ducharme, koresponden sains dan kesehatan majalah Times, dalam buku berjudul Big Vape: The Incendiary Rise of Juul (2021). “Kita seharusnya bikin sesuatu yang lebih baik. Kita seharusnya membuat rokok yang lebih baik.”

Ide ini muncul karena dari lubuk hati terdalam Monsees (dan Bowen) tidak ingin berhenti merokok. Mereka hanya benci efek negatif kesehatan dan bau asap.

Beberapa bulan kemudian mereka memutuskan mewujudkan ide itu. Mereka melakukan survei guna mencari tahu apa yang dibenci dan dicintai perokok tentang rokok. Setiap perokok yang diwawancarai menyatakan pendapat serupa, bahwa hanya benci efek negatif dari rokok dan tidak ingin berhenti merokok. Monsees dan Bowen mewujudkan ide ini dengan menciptakan produk tembakau alternatif berupa rokok elektrik alias vape—yang hendak dibuat dengan menihilkan segala aspek negatif rokok konvensional, tetapi tetap mempertahankan “kekhasan” rokok.

Dalam proses penciptaan vape, karena tidak memiliki cukup uang untuk melakukan penelitian mandiri, Monsees dan Bowen mentah-mentah menukil hasil riset yang dilakukan Charles Ellis pada 1960. Dalam riset yang didanai British American Tobacco (BAT) tersebut secara tersirat dinyatakan bahwa “merokok tidak berbahaya”, hanya produk sampingan kimia (chemical by-product) dari proses pembakaran (combustion) saja yang berbahaya—dalam bentuk asap, abu, dan sekitar tujuh puluh ribu zat kimia lain. Lalu, mengambil riset yang dilakukan psikiater asal Inggris bernama Michael Russell pada 1976, dua sobat sebat ini diyakinkan bahwa nikotin, meskipun memiliki efek candu, tidaklah berbahaya.

Hanya tar yang berbahaya. “Orang-orang merokok untuk menikmati nikotin, tetapi mereka mati gara-gara tar,” simpul penelitian yang dilakukan Russel itu.

Berbekal riset tersebut, pikir Monsees dan Bowen, andai vape yang mereka buat dapat meminimalkan atau bahkan menihilkan produk sampingan kimia dari rokok konvensional, cita-cita menciptakan rokok yang lebih baik akan terlaksana. Tepat pada 2007, harapan mereka terwujud dalam vape bernama Ploom. Nahas, Ploom atau vape versi pertama gagal di pasaran. Ini terjadi karena Ploom memiliki bentuk serupa dengan vape lain yang telah ada di pasaran, semisal “heat-not-burn cigarette” buatan Philip Morris hingga Ruyan buatan ahli kimia asal Cina bernama Hon Lik.

Tak menyerah, berbekal keahlian Monsees di bidang desain produk dan terinspirasi oleh Nespresso (kopi yang dikemas dalam bentuk pod buatan Nescafe, mereka melahirkan Juul sebagai vape 2.0. yang berbentuk apik, mirip seperti USB flashdrive, lebih keren dibandingkan rokok konvensional, lengkap dengan pelbagai rasa yang menggairahkan.

Tak seperti generasi pertama, produk ini laris manis. Sejak 2019 lalu merek vape ini memiliki valuasi sebesar 38 miliar USD—jauh lebih besar dibandingkan Airbnb atau bahkan SpaceX—gara-gara memiliki lebih dari satu juta pelanggan dan sokongan dana dari Altiva, induk usaha Marlboro dan Virginia Slims.

“Inilah rokok masa depan,” demikian Monsees membanggakan Juul.

Rupa Beda, Bahaya Sama

Monsees semestinya tak patut berbangga karena merujuk buku The Devil’s Playbook: Big Tobacco, Juul, and the Addiction of a New Generation (2021) karya Lauren Etter, rokok elektrik populer digunakan anak-anak sekolah dan Juul tidak lain adalah merek paling utama. Dalam rentang 2017 hingga 2018, terjadi peningkatan penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak hingga 75 persen. Petaka ini terjadi gara-gara rokok elektrik, entah diproduksi Juul atau produsen apa pun, berkemas dalam rupa kekinian. Mereka sukses mentransformasi rokok, yang berkonotasi tidak sehat, bau, hingga jorok, menjadi “keren” kembali.

Kemudian, meskipun Monsees dan Bowen serta pelbagai produsen lain percaya rokok elektrik tidak berbahaya seperti rokok konvensional, WHO telah menyatakan bukti-bukti saintifik sebagai pijakan keyakinan tersebut tidak meyakinkan atau inconclusive. Bahkan, riset-riset terbaru lebih memilih menyatakan bahwa rokok elektrik sama berbahayanya dengan rokok konvensional.

Seturut dengan penelitian Michael Russell pada 1976 silam, studi berjudul “Beneficial Effect of Nicotine” (British Journal of Addiction Vol. 86 1991) yang ditulis Murray E. Jarvik menyatakan zat yang paling berbahaya dari rokok (konvensional) adalah tar, bukan nikotin. Nikotin, meskipun tidak terbukti memiliki manfaat untuk menghilangkan stres serta meningkatkan konsentrasi seperti yang kerap diyakini awam, memiliki manfaat yang tak bisa disepelekan, semisal menghindarkan dari penyakit parkinson, sindrom tourette, hipokinesia, kilitis ulserative hingga alzheimer.

Namun, tak ada efek apa pun dalam tubuh responden non-perokok setelah mereka diberikan nikotin dalam bentuk permen karet. Ini terjadi karena nikotin hanya dapat tersalurkan dengan baik nan efisien ke dalam tubuh melalui rokok.

Sialnya, nikotin yang disalurkan melalui rokok akan membuat penerima ketagihan. Merujuk studi “Nicotine Addiction” (Journal of Tobacco Use and Cessation Vol. 26 1999) yang dilakukan Neal L. Benowitz, kala seseorang diberikan nikotin, muncul proses bernama nicotinic receptor antagonist mecamylamine yang menginstruksikan tubuh untuk terus-terusan mengonsumsi nikotin. Ini adalah proses kimiawi yang mirip/identik ketika mengonsumsi heroin dan alkohol.

Maka dari itu, andai rokok elektrik dianggap aman atau lebih sehat karena menihilkan tar dan hanya memuat nikotin, efek ketagihan sesungguhnya tetap ada di sana. Perokok mungkin terbebas dari rokok konvensional, tetapi ia kemudian terperangkap dalam candu rokok elektrik.

Terlebih, meskipun vape menghilangkan proses pembakaran (combustion) dalam menyalurkan nikotin hingga membuat produk sampingan kimia (chemical by-product), seperti tar, asap, abu, hingga tujuh puluh ribu zat kimia lain dari rokok konvensional tak muncul, produk sampingan kimia juga muncul. Dipaparkan Christoph Hutzler dalam studi berjudul “Chemical Hazards Present in Liquids and Vapors of Electronic Cigarettes” (Arch Toxicol 2014) dan Elizabeth A. Cowan dalam “A Gas Chromatography-mass Spectrometry Method for Quantifying Squalane and Squalene in Aerosol Emissions of Electronic Cigarette, or Vaping, Products (Talanta Vol. 238 2022), setidaknya terdapat 141 produk sampingan kimia dari vape, seperti glycerol, propylene glycol, ethylene glycol, coumarin hingga benzyl acetate.

Brian A. King dalam “E-cigarette, or Vaping, Product Use-Associated Lung Injury: Looking Back, Moving Forward” (Nicotine & Tobacco Research 2020) mengatakan karena memiliki produk sampingan kimia yang juga banyak, vape pun diyakini tak kalah berbahaya dibandingkan rokok konvensional. Ia juga menyebut vape-lah biang keladi terjadinya serangkaian kasus kerusakan paru-paru di Wisconsin dan Illinois Amerika Serikat pada Juli 2019.

Tentu, meskipun WHO dan para ilmuwan menyarankan masyarakat untuk menjauhi vape, terdapat upaya-upaya untuk menggaungkan hal sebaliknya; mengerdilkan temuan efek negatif bahkan secara “saintifik”. Dalam studi Lisa A. Bero berjudul “Tobacco Industry Manipulation of Research” (Public Health Report Vol. 120 2005), untuk mengarahkan pandangan masyarakat tentang rokok (konvensional maupun elektrik), industri rokok acapkali melakukan strategi “sound science” atau “junk science“.

Ciri khas dari riset-riset yang didanai/dihasilkan industri rokok ini adalah ia mengandung kata “tapi“, seperti: “Rokok (konvensional/elektrik) berbahaya bagi kesehatan, TAPI ….” Upaya ini tentu dilakukan untuk menjaga arus uang yang mengalir ke kas perusahaan-perusahaan rokok tetap terjaga.

 

Penulis: Ahmad Zaenuddin

Sumber: Tirto

Tags : kesehatanpenelitianrokoksains

The author Redaksi Sahih

Leave a Response