close
Feature

Edi Fadhil dan Rumah Ke-120

Sumber Foto: Facebook Edi Fadhil

SAHIH.CO – Semua itu berawal dari langkah spontan pada 2015, sebuah inisiatif pribadi setelah melihat postingan seorang teman di halaman Facebook yang menampilkan potret sebuah rumah keluarga yang tidak layak huni di belahan bumi Aceh Utara. Tidak ada yang menduga, niatan yang tidak muluk-muluk dan terencana ini akan menjadi project sosial berkelanjutan yang terus bergulir sampai hari ini.

Edi Fadhil, ayah tiga anak sekaligus seorang PNS di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh. Ia sudah lama menjembatani perbendaharaan orang-orang kepada khalayak yang membutuhkan. Kehadirannya mungkin mendahului banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang belakangan ini kian marak.

Merasa prihatin dengan kondisi rumah yang ia lihat dari postingan tersebut, ia tergerak untuk menggalang dana secara pribadi di halaman Facebooknya. Saat itu, ia menantang bahwa siapa pun yang menge-like atau memberi komentar di postingan galang dana untuk pembangunan rumah tersebut, berarti dianggap setuju untuk mendonasikan 100 ribu rupiah.

Pada awalnya, ia tak menduga hal ini mendapat tanggapan positif dan direspons dengan baik oleh orang banyak. Akan tetapi, follow up yang dilakukan terhadap orang-orang yang memberi like dan komentar tersebut berbuahkan hasil yang luar biasa.

Dalam dua hari saja, dana yang terkumpul berkisar di angka delapan juta rupiah dan dalam waktu sebulan terkumpul dana hampir empat puluh juta rupiah. Dari dana yang terkumpul mula-mula itu, pembelian material dan pembangunan terus dilakukan. Lalu, setiap proses pengerjaan dan data para donor terus di-update di halaman Facebooknya hingga rumah pertama pun selesai. Keluarga penerima ini berasal dari Kecamatan Sawang, Aceh Utara.

Tidak ada niat untuk melanjutkan program ini. Apalagi menambah variasi dengan membuka program-program lainnya, tetapi kondisi Sani—anak dari keluarga yang baru saja selesai rumahnya ini—ternyata telah dua tahun lamanya putus sekolah karena persoalan biaya.

“Waktu itu saya tidak merencanakan rumah berikutnya, juga tidak merencanakan program-program lain. Tapi, kebetulan sekali di rumah yang pertama kita bangun ada anak yang sudah putus sekolah selama dua tahun. Anak perempuan, Sani namanya. Setelah mengobrol dengan Sani, akhirnya saya coba hubungkan dia dengan salah satu teman untuk bisa bantuin beasiswa untuk adek ini supaya dapat lanjutin sekolah,” tutur Edi.

Program ini kemudian dikenal dengan Beasiswa Pendidikan, program kedua Edi setelah pembangunan rumah masyarakat yang membutuhkan.

Tidak ada rencana untuk keberlangsungan dua program sosial ini. Namun lagi-lagi, secara tidak sengaja ia melihat sebuah rumah yang kerap mengundang prihatin. Naluri sosialnya pun menggerakkan Edi Fadhil untuk mengekspos rumah tersebut dan kembali membuka kesempatan kepada siapa saja untuk ikut andil dalam pembangunan rumah kedua. Rumah ini milik Ibu Aisyah, seorang janda dengan lima anak di Aceh Utara.

Tak ada tantangan seperti ajakan perdana kali ini. Namun begitu, dana yang terkumpul melampaui ekspektasi dan melebihi kebutuhan pembangunan satu rumah yang dimaksud. Hanya dalam 10 jam, dana yang terhimpun mencapai 65 juta rupiah, lebih 25 juta rupiah dari kebutuhan pembangunan sebuah rumah yang hanya di angka 40 juta rupiah. Atas dasar itu, ia bersama para sukarelawannya, kemudian menginisiasi pembangunan rumah ketiga, dan seterusnya sampai saat ini sudah mencapai rumah ke-120.

Pembangunan rumah terus berlanjut, begitu pula program beasiswa pendidikan. Selain Sani dari keluarga pertama, Muslim dari keluarga kedua juga telah lama putus sekolah. Dari kedua anak inilah, program beasiswa pendidikan ini bermula, yang hingga saat ini Edi Fadhil telah menginisiasi beasiswa pendidikan untuk ratusan anak di bumi Aceh.

Selain dua program perdana ini, program selanjutnya yang dilakukan adalah modal usaha atau yang ia beri nama dengan Superstore. Sebuah program untuk memberdayakan usaha milik keluarga yang tidak mampu untuk mampu survive dan berkembang. Di samping itu, ia juga menginisiasi pembangunan pusat pendidikan di wilayah terpencil Aceh.

Keseluruhan dari kegiatan ini, diawali dari langkah yang tidak secara sengaja direncana. Seperti modal usaha misalnya, program ini muncul saat Edi Fadhil menyaksikan seorang ibu dengan dua anak yatim yang berjualan di atas irigasi dengan keuntungan 15–20 ribu rupiah per hari, di Lapang, Aceh Utara. Sejak adanya pemodalan saat itu, usaha ibu tersebut masih berlangsung hingga kini dan menjadi basis ekonomi keluarga.

Dari empat program yang digalakkan oleh Edi Fadhil, sejauh ini sudah ada 76 orang yang menerima modal usaha pada program Superstore. Selain itu, ada 3 lembaga pendidikan yang dibantu pembangunannya dan 1 lembaga pendidikan yang diinisiasi pembangunannya. Tambahan pula, pembangunan 120 rumah warga yang membutuhkan dan sudah 230-an anak di seluruh Aceh menerima beasiswa pendidikan.

Dana yang terkumpulkan seluruhnya diperuntukkan bagi program-program yang ada. Tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk operasional kegiatan. Edi Fadhil bersama seluruh sukarelawannya melakukan semua ini secara cuma-cuma. Hanya nilai dan prinsiplah yang membuat mereka melakukan seluruhnya dan saling percaya satu sama lain. Data-data penerima juga tidak dicari secara terencana, semua itu terjadi secara sporadis. Siapa pun bebas merekomendasi penerima kepada Edi Fadhil untuk selanjutnya dicek kelayakannya.

Menurut Edi Fadhil, bagaimanapun format dan inisiasi program sosial ini, keseluruhannya haruslah dibangun atas kerelawanan, bukan justru menjadi ajang menghimpun materi dan kekayaan. Yang terpenting di sini bukanlah target yang memuncak dan pencapaian yang tinggi, melainkan lebih pada inspirasi dari perjalanan setiap programnya. Di samping itu, juga tentang bagaimana setiap program berjalan dengan semangat berbagi, gotong royong, ukhuwah islamiah, silaturahmi, sukarela, dan kebaikan dari orang-orang.

Ia juga menambahkan bahwa semua lembaga yang kini menginisiasi pengentasan masalah ekonomi dan sosial masyarakat haruslah terikat dengan sebuah nilai bersama, seperti nilai kesukarelaan dan gotong royong, bukan justru menjadi terkotak-kotak dan dipengaruhi oleh kepentingan lain. Selanjutnya, ia juga mengajak siapa pun yang terlibat dalam aksi sosial agar menjaga nilai-nilai transparansi sebab pada zaman digital ini, tidak transparan adalah langkah bunuh diri.

“Sebenarnya, berbicara transparansi adalah berbicara tentang diri kita sendiri, kalo Anda tidak transparan sama dengan bunuh diri menurut saya, di dunia kerelawanan yang seperti ini, di mana media sangat mudah dan cepat,” ujarnya.

Seterusnya, berdasarkan pengalaman gerakan sosial yang selama ini ia geluti, sebuah pelajaran berharga yang diperoleh adalah pengentasan kemiskinan harus dilakukan dari seluruh aspek dan mengakar. Ia tidak akan selesai dengan melakukan sebagiannya saja, apalagi yang disentuh bukan inti permasalahannya. Ini menjadi PR yang harus kita pikirkan bersama.

Seperti pembangunan rumah keluarga miskin, ini tidak akan menyelesaikan masalah ekonomi keluarga tersebut. Pemberian dana bulanan juga hanya akan membuat banyak pihak menjadi kontraproduktif. Di samping itu, pemberian modal usaha tanpa didasari usaha yang berprospek cerah dan bimbingan yang kontinu juga hanya akan berujung pada alokasi dana yang tidak akurat.


Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Sumber: KBA.ONE

Tags : acehbantuankemanusiaanmedia sosialsosial

The author Redaksi Sahih